Kisah Mitos Tiga Desa Nganteng Bersetubuh Dengan Penunggu Wisata Danau Ngantang Selorejo Malang
KISMIS - Cerita Mitos kali ini berkisah nyata tentang akibat Pesugihan.Cerita hantu siluman paling seram dan nyata terbaru ini saya jadikan cerpen horor sebagai artikel pertama untuk mengawali Kumpulan cerita horor nyata seram dan menakutkan terbaru.
Sebelum Anda terjerumus, sebaiknya dipikir jernih. Tak ada untungnya melakukan persekutuan gaib dengan makhluk halus. Terlebih dalam urusan kekayaan. Meski enteng syarat dan enteng hasil, namun urusan dibelakangnya sangatlah mengerikan. Segeralah bertobat… Insya Allah, Tuhan memberi jalan terang seterang jalan di Surga. Amin…
Pengalamanku terjun di dunia pesugihan, membuatku menyesal seumur hidup. Aku yang kala itu istri dari seorang pimpinan group campursari, sedikitpun tak memikirkan masa depan keluarga. Beratnya menjalankan dan besarnya resiko, tidak lagi sekedar cerita dan mereka yang pernah melakoni dunia pesugihan. Pengalaman mengerikan yang belum bisa hilang dari ingatan sampai sekarang, yakni ketika harus menyaksikan korban-korban pesugihanku meregang nyawa di hadapanku.
Akibat dan menjalin hubungan dengan sosok makhluk halus membuatku sadar akan besarnya resiko melakukan pesugihan. Itu berarti, harus siap kehilangan banyak nyawa. Sebab, jika sudah sekali terjun, hanya ada dua kemungkinan, kalau bukan orang lain mati, maka akulah yang jadi tumbal. Pasalnya, semua angan dan rencana sering kali tidak sesuai dengan keadaan di lapangan. Apa yang kita bayangkan sebelum melakukan persekututan, banyak yang tak sesual kenyataan.
Waktu itu, tanpa seijin suami, aku melakukan ritual pesugihan. Dengan bimbingan sang juru kunci yang paham seluk beluk dunia tersebut. Pasalnya,salah satu tahap ritual yang kujalani, amat berat. Yakni melakukan ritual sesembahan di tengah danau keramat, dengan syarat maupun pantangan yang berlaku di pesugihan tersebut, sangatlah sulit. Waktu itu aku yakin bisa melaksanakannya sendiri tanpa didampingi siapapun.
Memang aku berhasil melakukan kerja sama dengan makhluk penguasa danau. Tapi sebelumnya, harus melewati perjuangan berat dan berbahaya dan bagiku jauh lebih menegangkan ketimbang sewaktu aku melahirkan Nursalamah, putri tunggalku yang mulai mangkat remaja.
Masih jelas dalam ingatan bagaimana mengerikannya menyaksikan calon tumbal pertama yang aku korbankan. Celakanya, tak hanya calon korban yang aku incar sebagai tumbal, tetapi beberapa nyawa orang tak bersalah ikut juga jadi korban. Mereka ikut tewas bersama calon tumbal yang aku sembahkan pada penunggu gaib pesugihanku. Masih terbayang dalam ingatan, terlebih keluarga besar group campursari milik kami, sebut saja namanya ‘Dara Vista’, sedang pakem.
Sebagaimana syarat wajib saat ritual, pada malam bulan Purnama besar, aku menggelar panggung hiburan di rumah tetangga kampungku yang menikahkan anaknya. Dengan dalih untuk membangkitkan lagi bisnis hiburan, suamiku menawarkan tanggapan gratis. Gayungpun bersambut. Si empunya hajat pun dengan suka cita menerima tawaran untuk menggelar hiburan. Pertunjukan yang kami gelar berjalan hingga menjelang subuh. Semuanya lancar dan aman.
Tuan rumah malam itu memperoleh keuntungan yang cukup signifikan. Begitu juga group kami, harta yang kami peroleh bukan dari si pemilik hajat, tetapi dari hasil persekutuanku dengan lelembut pesugihanku. Untuk pertama kali, hasilnya sungguh sangat mengejutkan. Seperti biasa, semua peralatan, tenda, gamelan serta sound system campursari Dara Vista sudah sebagian diantar ke rumah. Namun menjelang pagi, ketika aku meninggalkan lokasi, anak buahku mengabari, bahwa Rosita tewas tenggelam di sungai.
Insinden mengejutkan itu tak hanya menggemparkan seluruh personil group kami khususnya. tetapi warga Ngawi, Jawa Timur pada umumnya. Peristiwa maut itu terjadi begitu kami selesai menggelar pentas. Kejadian itu, setidaknya telah membuatku terperangah, tidak percaya.
Namun kenyataannya memang benar, ketika kudatangi tempat kejadian, Rosita, gadis jebolan hasil didikan suamiku, adalah tumbal pertama yang diambil penguasa gaib danau Ngantang. Pesinden asal kecamatan Banaran Sragen itu akhirnya benar-benar tewas dengan cara mengenaskan.
Waktu itu, perahu yang dikemudikan Parmin (48), warga desa Sekartaji, kecamatan Karanganyar, Ngawi, terbalik di sungai Bengawan Solo. Yang membuatku kaget dan menyesal, saat dirinya tewas, ternyata ikut pula beberapa siswa/santri dan warga lain yang jadi korban.
Enam orang korban tewas di lokasi tercatat masih mondok di sebuah pesantren. Ditambah lima orang warga setempat, RoSita dan beberapa personil group yang dibawahinya Tragedi itu terjadi pada saat group kami, campursari Dara Vista baru saja bubar menggelar pentas. Aku mendapat kabar dari anak buahku bahwa Rosita tewas di sungai Bengawan Solo.
Awalnya tak percaya, bagaimana bisa Rosita mati di sungai? Sebab Ia sendiri sangat takut jika berada di sebuah sungai. Setelah kuselidiki, ia mendapat job pementasan di desa Sekartaji. Karena antara Mantingan dengan desa Sekartaji dibatasi sungai Bengawan Solo maka mau tak mau harus menggunakan perahu kayuh tradisional untuk menyebrang menuju ke lokasi tersebut. Ditambah karena jumlah penumpang melebihi kapasitas. Namun dipaksakan juru mudi hanya karena melihat jumlah rupiah.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Jeritan minta tolong dari para santri dan santriwati serta penumpang lain terdengar menyayat hati.Gema takbir terdengar pula dan mereka yang sudah kelelep. Tangan-tangan mereka menggapai gapai timbul tenggelam, meminta pertolongan.
Untungnya, kejadian itu disaksikan oleh penduduk yang sedang beraktifitas di sekitar sungai. Mereka serentak menyeburkan diri ke sungai guna memberikan petolongan kepada Hamba Tuhan yang sedang diancam maut. Tapi karena jumlah korban kecelakaan lebih besar dari pada orang yang menolong, maka dapat dipastikan yang selamat bisa dihitung.
Akan tetapi bagi Parmin, begitu mengetahui perahunya terbalik, sebagaimana pengakuannya sewaktu di rumah Tahanan Negara Ngawi, dia sempat menyelamatkan para korban tidak lebih dari lima orang yang berhasil ditolong. Upaya penyelamatan konban lain juga masih berlangsung, saat ia tiba di lokasi kejadian. Waktu itu bukan aku saja yang ketakutan, tetapi juga tukang perahu itu.
Parmin tiba-tiba saja kabur. Yang membuatnya Iari, bukannya takut dikeroyok massa. Tetapi pada saat sedang menolong, sebagaimana yang kulihat, Parmin sempat mendengar suara derap kaki kuda yang dibarengi suara ringkikan di tepian sungai. Tak lama berselang, kami (aku dan Parmin) sama-sama menyaksikan munculnya seekor kuda hitam yang sangat besar. Aku terpana menyaksikan kemunculannya. Kuda betina itu memiliki tubuh tak lazim. Sosoknya berwujud kuda tetapi berkepala manusia. Wajahnya seram dan mengerikan.
Aku dan Parmin, sama-sama ketakutan, manakala kuda besar itu tiba-tiba mengangkat tubuh Rosita, yang sudah tak bernyawa. Begitu tubuh Rosita sejajar dengan mulutnya yang lebar. Beberapa detik kemudian, kepala pesinden yang dikenal dengan ‘goyang Dug Dug Ser’-nya itu lalu dimakan, hingga menimbulkan suara gemeretak tulang yang remuk.
Mungkin baru pertama kali menyaksikan kejadian tersebut, Parmin langsung kabur dari tempat itu dengan membawa sepeda ontel. Begitu puIa aku, tanpa melihat makhluk siluman itu lagi, aku juga ikutan kabur. Seluruh tubuhku menggigil. Panas dan dingin menyergap. Aku ketakutan setengah mati menyaksikan makhluk itu memakan kepala Rosita.
Terbaliknya perahu yang dikemudikan Parmin, konon ditenggarai salah satu tokoh masyarakat setempat sebagai akibat perbuatan seseorang. Korban tewas lainya adalah salah sasaran dari kecelakaan tersebut. Dari hasil perbincangan lintas dimensi alam gaib, tokoh asal Gendingan itu mengetahui, bila Rosita adalah korban yang sebenarnya sedang diincar. Apa yang dikatakan tokoh linuwih itu, memang benar. Rosita adalah korban pertama yang kupersembahkan pada sosok gaib penguasa danau Ngantang.
Gencarnya berita tersebut, unituk beberapa waktu membuatku gelisah. Tiba di rumah, aku Iangsung masuk kamar dan bersembunyi dibalik selimut. Aku masih tidak pencaya, begitu ampuhnya pesugihan danau Ngantang. Pasalnya, belum begitu yakin dengan yang kulakukan, tahu-tahu sosok perewanganku sudah mengambil nyawa. Apakah keramat danau Ngantang secepat itu mengambil tumbal?
Malam pertama dalam penumbalan nyawa, aku tak bisa tidur. Setiap mendengar suara berisik, aku mengira itu langkah kaki petugas yang memburuku. Padahal itu hanya suara hordeng yang diterpa angin. Perasaanku masih terus dihantui oleh rasa takut yang luar biasa. Pagi harinya, kudengar orang-orang di desaku heboh membicarakan peristiwa mengenaskan yang dialami Rosita. Aku pun pura-pura ikut kaget. Tak seorangpun yang tahu, jika akulah pelaku dan dalang dari semuanya.
Untuk beberapa hari, aku dan suamiku tidak melakukan apa-apa. Selama itu pula waktu terasa lambat. Aku menunggu meredanya kasak-kusuk tentang peristiwa kematian yang tak wajar pada diri Rosita. Sebagian, ada pula yang mengklaim, jika kematian Rosita dan beberapa santri santriwati serta beberapa warga lain, adalah akibat kelalaian Parmin yang tergoda uang. Keyakinan mereka memang benar. Terlebih menemukan bukti fisik dari kejadian di TKP.
Sejak peRistiwa tragis itu, rahasia pesugihanku mampu kuredam dan tetap jadi rahasia pRibadi. Aku bersikap wajar dan senang manakala pementasan group campursari Dana Vista kian meroket. Namun menginjak tahun ke dua, tiba-tiba muncul hal aneh dan menyeRamkan. Seperti kejadian pada malam bulan Purnama besar yang kedua. Ketika aku menggelaR ritual di kamar pendaringan, aku mulai mendengar suara derap kaki kuda mendatangi rumahku.
Saat belum sadar dan belum memahami sinyal tersebut, mendadak sosok kuda besar hadir di dalam kamar. Mirip kuda betina yang telah memakan Rosita di sungai bengawan solo. Kuda hitam berkepala manusia itu ditunggangi sosok lelaki besar. Dan entah siapa yang turun dari punggung kuda itu,tahu-tahu tangannya yang kuat memeluk tubuhku dari belakang.
Aku demikian terkejut hingga konsentrasiku buyar. Rasanya aku ingin berontak sekuat tenaga agar lepas dari dekapannya. Namun sebuah suara terdengar lirih ditelingaku yang memintanya diam dan menuruti semua kemauannya. Katanya, hal itu adalah syarat wajib dalam perjanjian.
Demi lancarnya usaha bisnis suamiku, akhirnya akupun diam dan menyerah apapun yang sosok itu lakukan pada tubuhku. Aku melayaninya. Sebenarnya batinku menangis ketika siluman itu memperlakukanku layaknya seorang istri. Aku lupa dosa pada suamiku, tatkala tubuhku direnggut hingga tak sadarkan diri. Saat bulan Purnama besar kedua muncul, berarti aku harus menggelar panggung hiburan lagi. Ini memang tahapan yang harus aku jalankan jika melanjutkan perjanjian gaib.
Meski di bulan purnama besar kedua ini, sudah jarang orang yang menggelar tanggapan hiburan, tetapi aku merencanakannya tepat dengan hari ulang tahun kota kelahiranku, Sragen Asri. Ya, pementasanku kali ini berbaur dengan pesta rakyat. Singkat cerita, pertunjukan yang kami gelar berjalan mulus dan ditonton ribuan warga yang memadati alun-alun di tengah kota. Hingga menjelang subuh, pertunjukan berjalan lancar.
Usai pertunjukan bubar, semua alat dan perangkat gamelan, tenda yang sudah dilipat rapih kembali diantar ke rumah dengan truk milik sendiri dengan kawalan suami dan beberapa nayaga yang sudah terlihat ngantuk. Sementara, aku baru bisa pulang setelah semuanya beres. Namun ketika aku meninggalkan lokasi, tepatnya beberapa blok dari alun-alun, aku melihat sebuah motor tiba-tiba saja terjungkal di aspal seperti menabrak dinding tembok.
Pengendaranya seketika mati. Padahal aku melihat tak ada satupun kendaraan yang lewat waktu itu. Kecuali motor yang kutumpangi. Itupun posisinya sangat jauh dari lokasi orang itu terjatuh.Saat itu juga aku menghentikan laju motorku dan turun untuk menolong. Tapi yang kulihat waktu itu sungguh diluar dugaan.
Ternyata korban jatuh adalah mas Wiwid, asisten managerku yang baru tiga bulan gabung dengan group campursari Dara Vista. Dia memang orang pertama yang mengatur segala kegiatan dan rencana manggung group kami. Mas Wiwid sehari hari tinggal di rumahku. Bahkan sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Kejanggalan tak hanya cukup disitu.
Sejurus kemudian lagi-lagi aku melihat sosok kuda betina hitam muncul dan menghampiri jasad mas Wiwid. Aneh! Kaki depannya yang kokoh mampu mengangkat jasad mas Wiwid hingga berhenti tepat dimulutnya yang bergigi besar-besar. Untuk beberapa saat hidungnya mengendus ngendus, mengerikan.
Tanpa perasaan, kepala mas Wiwid dimakannya dengan nikmat seperti anak kecil mengulum permen. Menyaksikan kejadian mengerikan itu, tanpa sadar aku menjerit keras. Saking takutnya saat itu juga aku kemudian lari meninggalkan lokasi, disaksikan keheranan beberapa orang yang melintas serta seorang tukang becak yang nongkrong tak jauh dari situ. Orang-orang yang melintas dan tukang becak itu hanya menggeleng-gelengkan kepala, menganggap aku tidak waras, karena menjerit-jerit minta tolong tanpa sebab yang jelas.
Sampai di rumah aku pun Iangsung mengabari kecelakaan tensebut pada suami dan beberapa pensonil kami. Suamiku langsung mengurus pemakaman mas Wiwid dengan Iayak. Saat pemakaman aku tidak datang. Pasalnya, sejak kejadian itu aku langsung jatuh sakit hingga berhari-hari. Apakah mas Wiwid tumbalku yang kedua?
Hampir setiap hari pertanyaan seperti itu bergelayut di otakku. Namun, setelah aku memperoleh hanta banyak, aku seolah tak memperdulikannya lagi. Semua properti tua sudah diganti dengan yang baru dan lux. Untuk transportasi kini sudah tambah dengan satu minibus dan sedan.
Kuakui, kami memang kalah bersaing dalam dunia hiburan yang selama ini telah kami jalankan. Dan membuatku nekat menempuh jalan pintas dengan melakukan persekutuan dengan bangsa lelembut. Kala itu aku belum tahu jelas siapa yang akan ditumbalkan setelah aku melakukan pesugihan.
Baru setelah aku terjerat, akhirnya menjadi jelas. Bahkan prosesnya amat mengerikan. Le Carik, adalah orang pentama yang mengenalkanku dengan dunia pesugihan. Sebab dia sudah puluhan kali malang melintang jadi pemandu gaib di lokasi-lokasi keramat.
Aku masih ingat waktu usaha bisnis suamiku sedang naik turun. Tiba-tiba muncul sosok Rosita. Ia adalah pesinden dan penari muda yang kurang jelas asal usulnya. Ia memiliki postur ideal sebagai pesinden, menarik serta raut wajah yang sangat cantik.
Tak dipungkiri, setelah bergabungnya Rosita, group campursari ‘Dana Vita’ yang dipimpin suamiku mengalami kemajuan. Rata-rata penonton yang hadir begitu mengidolakan sosoknya yang disetiap penampilannhya selalu mengutamakan lekuk tubuh ketimbang suaranya. Dan itu suatu kebanggaan meskipun sebenarnya mematikan profesi pesinden lain.
Belum puas menikmati kepopuleran nama besar campursani ‘Dana Vista’, tiga bulan kemudian Rosita mengundurkan diri tanpa memberi alasan jelas. Kami semua menjadi bingung.Terlebih suamiku. Meski berat untuk dilepaskan, dengan terpaksa akhirnya suamiku mengijinkannya keluar dari group kami. Tentu saja bisnis suamiku akan kembali terancam bangkrut.
Apa yang kupikirkan ternyata jadi kenyataan. Baru berjalan satu bulan sejak Rosita keluar dari group, tetanggaku yang mantu hajatan menanggap hiburan group campursari modern pimimpin Rosita, ya Rosita. Betapa tidak terkejut aku dan suamiku saat itu.Ia baru saja mengundurkan diri, dan tiba-tiba muncul mengusung sebuah group dengan lebel yang lebih elit.
Apa maksud dan semua itu?
Hampir semua relasi yang pernah memakai jasa suamiku akhinnya berpindah melirik group Rosita entertainment. Bagaimana aku tidak sakit, terdengar kabar miring, kalau pagelaran yang ia usung katanya melibatkan ajimat ilmu pelet. Bahkan dalam setiap pagelarannya konon ia tak pernah mematok harga tak jarang pula digratiskan.
Semua pelangganku pergi. Perlahan dan pasti group kesenian campursani ‘Dana Vista’ benar-benar mengalami kehancuran. Modal habis. Semua tabungan dan perhiasanku lambat laun ludes, dari hari ke minggu, minggu ke bulan semua isi perabotan rumah pun telah habis di lego. Suamiku mengalami depresi berat. Bahkan akhirnya akupun kehilangan akal sehat.
Entah setan mana yang telah berhasil menggoda imanku. Ditengah kebingungan, mendadak aku ingat Le Carik, teman lama ayahku yang menjadi juru kunci di tempat keramat. Tanpa berpikir dua kali aku nekat menemuinya.
“Apa aku tak salah dengar Put?” Le Carik terkejut.
Aku menjawab hanya dengan gelengan kepala, seolah itu semua sudah menjelaskan semua beban yang menghimpit. Setelah semua cara dia tawarkan, aku tetap pada pendirian, akhirnya dengan terpaksa dia membantuku.
Ritual Pesugihan di Danau Ngantang Seloreja Malang
Selang sehari setelah aku pamit beralasan mengunjungi keluarga pada suamiku yang masih terpuruk, Le Carik membawaku ke sebuah tempat wisata kawasan danau Ngantang, di desa Ngantang kecamatan Ngantang kabupaten Malang. SekitaR empat jam perjalanan kami tempuh.
Tiba di tepi danau hari telah senja. Setelah menemui Pak Sugito, seseorang yang dikenal Le Carik, meminta untuk dicarikan tukang perahu yang bersedia mengantar ke tengah danau.
Malam itu setelah mendapatkan perahu, aku dan Le Carik serta mas Gendut, tukang perahu yang aku sewa pergi ke tengah danau. Kulihat Le Carik menceburkan buntalan kain putih ke tengah danau. Aku tidak tahu apa si buntalan kain putih yang dilemparkan itu. Namun aku yakin jika itu adalah cok bakal.Menurut keterangan Le Carik, pembuangan cok bakal ke tengah danau adalah syarat yang wajib dilakukan calon pelaku pesugihan. Katanya, pesugihan model ini disebut pesugihan ‘Tapal Ludro’.
Danau Ngantang merupakan salah satu tempat pesugihan yang mampu mengambil orang lain di luar keluarga pelaku sebagai tumbalnya. Maka tak heran jika syarat syaratnya sangat sulit. Syarat wajibnya antara lain, sebungkus kembang telon, segenggam padi, dan tiga helai rambut kuda betina warna hitam. Ubo rampe ini lalu disuguhkan di punden Mbah Demang. Setelah melakukan ritual di punden, tahap selanjutnya ritual dilakukan di rumah.
Akupun menyiapkan ruangan kamar kosong yang di dalamnya diisi sesaji kembang telon dan tiga helai rambut kuda betina warna hitam. Dan ditambah dengan satu sendok liur kuda betia warna hitam yang ditaruh di dalam lesung dan ditutupi dengan kain mori. Pesugihan ini dinyatakan berhasil jika di dalam lesung terdapat uang sesuai permintaan.Dan ternyata benar keesokan harinya, aku mendapatkan harta yang kuinginkan.
Setelah ritul berjalan mulus, pagi harinya aku diharuskan kembali membuang sesaji ke tengah danau Ngantang.Sebagaimana yang disarankan Le Carik, dalam mencari calon tumbal aku harus melakukan pengetesan dengan membawa calon tumbal ke danau Ngantang. Akan tetapi karena waktu itu Rosita sudah keluar dari group, aku kesulitan. Namun aku mendapat bocoran yang sedikit melegakan. Aku disuruh mengambil potongan rambut dan baju calon tumbal.
Benda-benda tersebut kemudian aku buntal dengan kain mori lantas dilarung ke tengah danau.Dari banyaknya pendapatan, aku mulai terbiasa dengan situasi mengerikan. Aku sudah tak pura-pura lagi jika menjelang bulan purnama besar ke tiga datang mesti menyediakan tumbal lagi. Aku memang harus sudah siap. Siap mental dan siap menyediakan calon tumbal lagi. Pada pagelaran manggung kali ini aku bisa sedikit bernapas lega.
Si empunya hajat malam itu mendapat tamu undangan yang cukup membludak. Sehingga keteter dalam hal persiapan prasmanan. Anehnya, menjelang pagi, yang menonton juga bukannya semakin sedikit melainkan semakin bertambali banyak. Dan baru selesai hingga pagi menjelang.
Setelah semua peralatan terangkut dan para nayaga serta sinden tiba di rumah masing-masing, aku pun pulang bersama mereka. Mengingat peristiwa yang sudah-sudah, kali ini aku takut jika pulang sendiri. Namun sayang, pertunjukan baru dimulai, suamiku pulang lebih dulu untuk istirahat. Aku maklumi itu, sebab dialah orang pertama yang selalu sibuk jika ada acara pentas. Aku begitu bahagia malam itu. Sebab pentas campursari Dana Vista berjalan mulus. Akan tetapi, begitu mendekati rumah aku melihat kerumunan orang. Dengan penasanan aku segera bergabung dan berdesakan dengan mereka yang berkerumun.
Alangkah terkejutnya, ketika kulihat suamiku tergeletak tak bernyawa di bahu jalan. Menurut saksi mata, suamiku adalah korban tabrak Iari. Lagi-lagi pada saat itu, aku menyaksikan, kembali sosok siluman kuda betina hitam menghampiri jasad suamiku. Sebagaimana yang dilakukan pada jasad kedua orang yang aku tumbaikan, siluman itupun kemudian memakan kepala suamiku hingga remuk. Aku menjerit histeris mendengar suara tulang-tulang tengkorak kepalanya saat di kunyah.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Menyaksikan ke tiga peristiwa itu aku mulai membenci perjanjian gaib dengan sang penguasa danau Ngantang. Aku tak ingin anak semata wayangku menjadi tumbal kekayaan berikutnya. Sejak itu akupun meminta bantuan Le Carik untuk menutup perjanjian tak tertulis itu. Aku tidak akan mengikat penjanjian lagi. Aku percaya rejeki itu ada yang mengatur. Ada di tangan Tuhan.sumber:misteri.
Support Grup Mistis >>>>>>> Dua Dunia MISTIS
Post a Comment